Berita NTB
Dari hasil penjualan ini, ia hanya memperoelh untung Rp 50-60 ribu saja. Sebab sisa hasil penjualannya disimpan untuk modal membei bahan baku daun lontar. Sedangkan untung yang diperoleh digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, untung dari jual kerajinan lontar sangat kurang karena ia sendiri memberi makn 4 cucunya. Bebannya bertambah, karena semenjak kecil suami meninggal. “Suami saya meninggal sejak anak saya masih kecil,”akunya. Ia menambahhkan, ia tak memeproleh bantuan Dana dari pemerintah. Namanya tak tercatat sebagai penerima bantuan. Ia sendiri heran kenapa roang tua jompo di daerah itu rata-rata tak masuk sebaagai penerima bantuan dana dari pemerintah diera Preaiden Joko Widodo. “Rumah pun saya tidak ada, saya ini numpang di rumah anak,”ujarnya.lmu
Inaq Siti, Tua Renta Cari Makan Lewat Anyaman Daun Pandan
ComLOMBOK BARAT, sasambonews.com.
Centra kerajinan tikar daun lontar di Lombok Barat berada Dusun Tunggu Lawang Desa Kuripan Selatan . Puluhan tahun lalu, hampir semua warga setempat menggeluti kerajinan tersebut. Hasil kerajinan perajin di Dusun ini bahkan menyasar hingga ke luar daerah, seperti Bali dan Jawa. Namun sekarang, kerajinan tikar itu hampir punah karena tidak ada regenerasi. Salah pengerajin yang masih bertahan adalah Inaq Siti Aminah (50). Ia bertahan menjadi pengerajin, karena tak ada pilihan lain. Bahkan dari hasil kerajinan inilah, nenek jompo ini berathan hidup dan menghidupi empat cucunya.
Untuk menuju daerah kerajinan ini, butuh tenaga ekstra karena lokasinya lumayan jauh berjarak sekitar 5 kilometer dari jalur besar Kuripan. Akses menuju lokasi itu juga cukup berat, melalui jalurnya rusak. Sepanjang jalur tersebut, terhampar lahan pertanian yang sudah ditanami bibit padi. Tampak dari kejauhan, hamparan sawah hijau rowo-rowo. Selain dikenal sebagai daerah penghasil batu bata daerah ini juga sebagai daerah pertanian. Sekitar 30 menit diperjalanan, tibalah di kampung kerajinan tikar lontar Tunggu Lawang.
Di dusun ini tak tampak ada aktivitas pengerajin tikar, karena selama musim hujan mereka vakum. Ditemui digubukya, Papuq Siti Aminah salah seorang pengerajin yang masih bertahan di daerah itu tengah menyanyam daun lontar menjadi tikar. Meski tangan nenek tua ini sudah keriput dimakan usia, namun tampak masih cekatan menganyam helai demi helai daun lontar. “Saya menjadi perajin sejak puluhan tahun lalu, semenjek masih gadis. Dari jual kerajinan ini kami bisa makan, ”tutur, Papuq Siti. Kulit wajahnya yang keriput menyiratkan kelelahan yang amat dalam. Namun ia tak menampakkan secara nyata.
Nenek tiga anak ini mengaku, puluhan tahun silam warga setempat hampir semuanya menggeluti kerajinan tikar. Banyaknya warga yang tertarik pada kerjainan ini, karena tidak ada pekerjaan lain. Selain itu, hasil jual kerajinan lumayan. Diera keemasannya, hasil kerajiann tikar yang diproduksi warga setempat dijual ke luar daerah. Ia sendiri menjual hingga ke Bali dan ke Jawa melalui pengepul. Bahkan, karena hasil kerajinan ini banyak dicari oleh peminatnya kerap kali ia kesulitan memenuhi pesanan.
Akan tetapi seiring waktu, justru kerajinan ini makin mundur saja. Hal ini dikarenakan, warga tak banyak lagi menggelutinya. Warga invansi ke pekerjaan lain yang lebih cepat memberi penghasilan dan lebih banyak untungnya. Warga mulai berpindah membuat batu bata, pecah batu dan lain-lain. Penyebab lainnya, warga tak lagi banyak menggeluti kerajinan tikar karena bahan baku daun lontar semakin sulit diperoleh. Daun ini, memiliki musim petik. Perajin perlu menunggu waktu lumayan lama menunggu daun tersebut tumbuh. Hal ini menyebabkan warga banyak memakai lahan tanaman lontarnya untuk membuat batu bata.
Ditengah banyak warga meninggalkan kerajinan tikar lontar tersebut, ia sendirian yang tetap bertahan membuat kerajinan tersebut. Di dusun itu, tinggal dua orang yang masih menjadi pengerajin. Menurutnya, untuk membuat kerajinan tikar ini ia butuh modal Rp 50 ribu lebih. Modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan lelah dan untung yang diperoleh. Dengan modal Rp 200 ribu, ia hanya mampu membeli 4 kudi (gulung) daun lontar. Didalam satu kudi, terdapat 15-20 lembar ddaun lontar. Belum lagia menghadapi sulitnya memperoleh bahan baku daun lontar.
Proses pembuatan tikar ini terbulang mudah-mudah sulit. Ia yang terbiasa membtau tikar, dalam sehari hanya mampu membuat 3-4 buah tikar. Proses pembuatannya mulai dari penjemuran daun lontar. Proses penjemuran ini tergantugn kondisi cuaca. Jika kondisi panas, maka penjemuran bisa dua minggu saja. Sedangkan jika kondisi hujan seperti saat ini waktu jemur bisa hingga tiga-empat minggu. “Kalau tidak kering sekali daun lontarnya sulit dianyam,”imbuhnya.
Setelah dijempur, barulah peroses selanjutnnya digulung. Proses penggulungan ini juga memakan waktu karena perlu kesabaran dan ketelatenan.
Gulungan daun lontar kering ini dinamakan satu kudi. Untuk membuat satu buah tikar, memerlukan 2-3 kudi. Dalam sehari katanya, ia mampu membyat 3 buah tikar. Setelah selesai dibuat, tikar-tikar buatannya dipasarkan langsung ke pasar Gerung dan kuripan. Biasanya ia menjual tikarnya ke pasar Gerung sekali seminggu, biasanya hari Rabu. Tikar buatannya langsung dijual ke pengepul dengan harga miring. Selain itu, ia juga membawa ke pasar Kuripan. Biasanya, tikarnya akan dibeli oleh pembeli dari Sukarare Lotim. Ia mengaku dari hasil penjualan, ia memperoleh bayaran Rp 300 ribu lebih.
Via
Berita NTB
Sasambo News
Sasambonews.com, Alamat Jurang Jaler Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi NTB
Posting Komentar