Nasional
Rapat Kementrian ATR, ITDC dan Pelaku Pariwisata Memanas
Lombok Tengah, sasambonews.com- Konsultasi Publik I Kegiatan Penyusunan Rencana Tata Ruang
(RTR) Kawasan Strategis Kabupaten sekitar KEK cukup a lot. Tensi peserta
khususnya para kepala desa, Camat dan pelaku pariwisata meninggi manakala mendengar
penjelasan dari pihak Kementrian Tataruang menyinggung soal kawasan penyangga
KEK yang tidak boleh dibangun hotel. Rapat yang dipimpin Sekda Loteng H.Nursiah
itu menjadikan ITDC seolah olah menjadi terdakwa. Sayang ITDC tak diberi ruang untuk membela diri dari kritikan pedas Kepala Desa dan pemerhati pariwisata tersebut.
Hadir pihak ITDC, Kementria ATR, Sejumlah Kepala Dinas,
Pelaku Pariwisata, Camat terkait, kepala Desa dan lain sebagainya.
Pelaku pariwisata berfikir makna penyangga adalah kawasan
gren belt atau kawasan sabuk hijau yang mana tak satupun orang boleh membangun.
Sementara pihak KEK ataupun pemerintah belum menentukan mana kawasan yang masuk
dalam daerah penyangga. Oleh karena itu sebelum dibuatkan perda maka kata
peyangga itu harus dicoret. “Saya tidak terima pernyataan kata kompetitor kompetitor
diluar kawasan termasuk ada kata penyangga sebab penyangga itu tidak boleh
dibangun ataupun disentuh sementara dikawasan luar KEK itu adalah kawasan Strategis,
sebelum disahkan jadi perda pak Sekda, tolong dicoret kata penyangga itu, saya
tidak terima, nanti investor takut” kata Ketua PHRI Lombok Tengah H.L.Fathurahman.
Fathurahman menilai ITDC takut tersaingi dengan investor lokal
sehingga membuat kebijakan daerah yang berada dekat dengan KEK dijadikan
kawasan penyangga sementara semua orang tahu bahwa kawasan penyangga didak
obleh dibangun. Kalau ini dilakukan maka akan ada aksi demonstrasi yang akan
dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus oleh karena itu dia berharap
tidak ada istilah penyangga. “Lebih elegan mengatakan kawasan mitra, kawasan
pendukung, atau kawasan pengaruh” kata pemilik Sempiak itu.
Fathurahman sendiri belum mengetahui kawasan inti itu
perlakuannya seperti apa termasuk juga kawasan penyangga. Untuk itu harus ada
kejelasan dan keterangan mengenai kebijakan apa yang dibuat didalam kawasan
inti dan penyangga itu. “Harus jelas dikawasan inti itu apa saja yang boleh
dibangun, kawasan penyangga juga apa saja yang boleh dibangun tapi setahu saya
kawasan penyangga tidak boleh dibangun apa apa, ini harus clear” jelasnya.
H.L.Hajar Asmara praktisi pariwisata menilai moratorium
seperti yang disampaikan oleh Sekda NTB itu terlalu berlebihan. Kawasan KEK
adalah kawasan strategis nasional. Disamping memiliki kawasan yang luas tetapi
juga memiliki segmen pasar yang sudah jelas pula akan tetapi justru ITDC merasa
tersaingi oleh investor lokal. “Janganlah kita berpikir paranoid, ketakutan
berlebihan dan takut sama bayangan sendiri, masa iya kita merasa tersaingi
dengan investor kecil kecilan sementara dari sisi status dan kelas dengan ITDC
sangat jauh” ungkapnya. Menjawab komentar dua praktisi pariwisata itu, Direktur
Penataan Kawasan, Dirjen Tata Ruang pada Kementrian Agraria dan Tata Ruang Agus
Sutanto mengatakan ada pemahaman yang keliru soal istilah kawasan penyangga.
Menurutnya istilah penyangga itu memang tersebut dalam permen ATR namun perlu
disampaikan bahwa kawasan penyangga itu tidak berarti kawasan green Baper Zone
atau Baper Green Belt. Kawasan penyangga ini adalah kawasan transisi atau
penghubung antara aktivitas ekonomi intensif di pantai selatan dengan kawasan
yang dominasi kegiatannya tidak dominan pariwisata. “Kita bisa lihat dipeta
bahwa banyak kawasan yang bisa dijadikan kawasan budidaya yang bisa
dikembangkan di zona penyangga. Zona penyangga ini bukan green belt sebab jelas
itu tak boleh disentuh, tapi dalam arti baper dari daerah transisi dari
aktivitas dipantai selatan” jelasnya.
Sebenarnya dalam peta kawasan terdapat kawasan hijau, kuning
dan ungu. Kawasan hijaupun masih boleh dikembangkan termasuk kawasan kuning
untuk permukiman sedangkan kawasan ungu seperti di Selong dan sekitarnya
sebenarnya bisa dibangun. Jadi yang menjadi persoalan adalah sebuah istilah
penyangga yang dimaknai berbeda beda padahal dikawasan itupun boleh dibangun. “Jadi
hanya ada perbedaan istilah saja, kawasan penyangga tapi bukan green belt”
jelasnya.
Selanjutnya terkait pernyataannya yang mengatakan pemetaan
ini untuk mencegah kompetisi, itu adalah pembagian segmen dan konsep. Ini yang
harus disepakati bersama termasuk pihaknya ingin mengetahui konsep seperti apa
ITDC didalam kawasan dan juga segmen wisatawan seperti apa yang dibidik oleh
aktivitas aktivitas yang dikembangkan di KEK sehingga investor diluar KEK bisa
menyesuaikan diri dan tidak memposisikan diri sebagai competitor, misalnya
kalau didalam KEK itu hotel bintang 4 ke atas maka diluar KEK bisa bintang 3
kebawah, ques house juga masih bisa. Jadi yang namanya competitor karena segmen
pasarnya berbeda. “Bintang tiga keatas ok misalkan, maka bintang 1 atau 2 kita
kembangkan diluar karena memang ada segmen wisatawan untuk itu, jadi itu
pengertiannya sehingga disini tidak ada masyarakat dunia usaha ataupun ITDC yang
memposisikan diri sebagai competitor. Mulai sekarang semangat kita adalah memposisikan
diri sebagai mitra, sebagai obyek saling melengkapi satu dengan yang lain, itu
yang kita dorong itu sehingga KEK dan kawasan sekitarnya bisa tumbuh bersama”
jelasnya. Am
Via
Nasional
Posting Komentar