Berita NTB
Pengrajin Beleka, Sepi Pesanan, Minim Perhatian Pemda
Geliat pariwisata di Lombok Tengah saat ini memberikan angin segar bagi sektor industri, salah satunya anyaman ketak Namun pasca tragedi bom Bali, ditambah minimnya perhatian serius dari pemerintah daerah membuat usaha ketak mulai ditinggalkan, hanya beberapa yang masih eksis.
DARWIS – LOMBOK TENGAH
Kerajinan ketak mungkin masih asing di telingga sebagian masyarakat. Kerajinan ketak sendiri adalah anyam-anyaman yang terbuat dari lidi ataupun rotan yang dalam bahasa Suku Sasak disebut Ketak.
Di tangan pengerajin, ketak diolah menjadi berbagai jenis anyaman, mulai dari tempat buah, bingkai, tas, dan lain-lain.
Salah satu sentral kerajinan ketak di Nusa Tenggara Barat (NTB) ada di Lombok Tengah, tepatnya di Desa Beleka, Kecamatan Praya Timur. Kerajinan di desa yang berbatasan dengan Kabupaten Lombok Timur itu sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam.
Sampai saat ini, sebagian besar warga masih menjadikan kerajinan ketak sebagai salah satu penopang perekonomian, disamping pertanian dan peternakan. Di era tahun 1990 an, kerajinan ketak Desa Beleka mengalami masa kejayaanya. Saat itulah, ketak Beleka menjadi barang yang sanga dicari bahkan sampai ke mancanegara.
Saat itu, perekonomian masyarakat Beleka sangat baik. Masyarakatnya pun rata-rata memiliki penghasilan tetap dari usaha ketak yang mereka geluti. Namun tragedi bom Bali yang terjadi tahun 2001 lalu merupakan petaka bagi para pengerajin. Aksi yang dilakukan Imam Samoedra CS tersebut membuat seluruh sektor perekonomian di Indonesia anjlok, tidak terkecuali kerajinan ketak Beleka. Sejak saat itu, pesanan ketak mulai sepi. Sebagian besar pengusaha ketak Beleka pun gulung tikar.
Kendati demikian, saat ini masih ada beberapa pengepul ketak yang tetap eksis, salah satunya Hj Solatiah.
Di saat rekan-rekannya yang lain gulung tikar dan enggan meneruskan usaha kerak, ia justeru tetap bersemangat. Kepada Sasambonews.com, wanita paruh baya itu mengaku enggan melepas usaha yang telah digelutinya selama kurang lebih 30 tahun itu. Seperti halnya pengepul kebanyakan, pasang surut juga pernah ia rasakan. Saat Bom Bali, ia juga nyaris gulung tikar. Dimana saat itu kerugian yang dialaminya mencapai 400 an juta.
Untuk pulih dari keterpurukannya saat itu, Hj Solatiah membutuhkan waktu bertahun-tahun. Walaupun kini sudah membaik, berbagai kendala masih dihadapi. Minimnya pesanan ditambah harga jual yang sangat rendah membuat keuntungan yang diperoleh sangat sedikit. Jika sebelum Bom Bali pengiriman dilakukan sekali seminggu dilakukan sebulan sekali, itupun dalam jumlah kecil yakni seharga Rp 200 juta. Di Bali, ketak Beleka dihargakan mulai puluhan sampai ratusan ribu, tergantung jenis dan ukurannya. Namun harga ketak yang mencapai Rp 65 ribu per kilogram rotan menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Keuntungan yang diperolehnya pun sangat minim. “ Dalam satu kali pengiriman dengan nilai Rp 200 juta, keuntungannya hanya Rp 4 jutaan, itupun belum dipotong biaya kirim,” terangnya.
Menurutnya, keberadaan kerajinan ketak Beleka merupakan salah satu potensi yang dimiliki Lombok Tengah. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari pemerintah daerah dalam memajukannya.
Dalam hal ini, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) seharusnya lebih proaktif dalam mendukung keberadaan kerajinan ketak Beleka.
Dukungan yang dimaksud tidak hanya bantuan modal, tapi pembinaan. Untuk merangsang minat pengerajin maupun pengusaha, Diskoperindag seharusnya rutin mengadakan pelatihan bagaimana menciptakan produk yang lebih baik dan kegiatan lain.
Yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan pasar. Dalam hal ini, Diskoperindag diharapkan bisa memfasilitasi pengerajin dalam memasarkan produknya. Kalau saja ketak bisa dikirim langsung ke luar negeri tanpa melalui Bali, keuntungan bisa lebih banyak. Akan tetapi sejauh ini penasaran ketak Beleka masih tergantung Bali.
Kendati demikian, ia masih tetap optimis, kerajinan ketak Beleka akan kembali berjaya, terlebih dengan keberadaan Lombok Internasional Airport (LIA) geliat pariwisata yang menurutnya merupakan angin segar bagi dunia usaha.
Hal itu menurutnya sudah mulai terlihat. Sejak beberapa tahun terakhir, pesanan dari hotel di NTB mulai meningkat. Selain ke Bali, saat ini ia mulai memasok barang ke beberapa hotel di obyek-obyek wisata di NTB. Pesanan terbesar berasal dari hotel-hotel di Gili Terawangan (KLU) dan Sengigi (Lombok Barat). “ Kalau Lombok Tengah masih minim,” tuturnya.
Untuk itu ia berharap, perkembangan pariwisata saat ini bisa membangkitkan kembali usaha ketak di desanya, demi Lombok Tengah yang lebih baik.
Via
Berita NTB
Posting Komentar